Kamis, 18 April 2013

Lembu Peteng


DalLC kemarin (minggu ke-2 Agust), Sujiwo Tedjo berujar, jika bangsa ini mau sukses, dipimpinlah sama lembu peteng. Yakni, seseorang yang tak jelas identitas orangtuanya (ayahnya), layaknya Soeharto dan Soekarno. Atau, dalam terminologi lebih klasik, sejarah masa lalu, lembu peteng ialah mereka yang terlahir dari pernikahan atau garwo yang tidak sah (selir). Sebagai permisalan, Ken Arok yang sukses melakukan suksesi dan duduk dalam tampuk kepemerintahan. Ia, bocah haram jadah itu, naik tahta dengan “kutukan” berdarah dan semangat gelak dari dendam. 

Jauh-jauh sebelumnya Gus Dur pun pernah mengemukakan mengapa lembu peteng naik daun tiap kali masuk dalam bursa pencalonan pemimpin. Sebut saja karena lembu peteng yang lahir dari trah keraton namun tak memiliki hak secara sah untuk duduk sebagai penerus sang ayah. Kemudian disamping menjadi kekuatan tandingan yang terus membayang dalam pemerintahan yang sah, yang tak tahan dengan berbagai goncangan, lembu peteng mampu dijadikan stok jika sewaktu-waktu kekuatan tertentu ingin menebar klaim sebagai pengganti yang sah terhadap ketakbecusan pemerintah yang legitime namun tak mampu melewati masa krisis. Dengan alasan penyelamatan itulah, lembu peteng bisa dihadirkan sewaktu-waktu.

Usul “nakal” Sujiwo Tejo mengenai sosok yang layak memimpin bangsa ini: sosok lembu peteng , di tengah kemelut bangsa yang tak habis-habisnya akibat dari kepemimpinan sosok yang dinilai tak memberikan jawaban terhadap persoalan yang menimpa bangsa kita. bahkan dalam isu oposan perpolitikan negeri ini, seringkali disebut sebagai masa “kehampiran” sebagai negara gagal, adalah keresahan yang sekali-kali ingin menengok sejarah “kalau-kalau”, “mbok menawa”. Kalau dulu kita berhasil dengan kepemimpinan lembu peteng, kenapa nggak mencobanya?

Kita bisa menafsirkan lembu peteng dalam terminologi non-genetik namun masih nostalgik., yakni ; sebuah sosok yang hadir dari gelombang lain. seseorang yakni mereka yang awalnya tak diperhitungkan, mereka yang pada mulanya tak dianggap maupun yang dipandang sebelah mata. Yang kesemuanya, sebagaimana kebiasaan lembu peteng, hidup lama di antara rakyat, yang kemudian membuat mereka belajar persoaalan riil kehidupan, dibanding tumbuh dalam kerangkeng istana ( baca: lingkungan elite politik).

Mengapa penggulingan kekuasaan olem lembu peteng dan kepemimpinannya sering kali menuai sukses, walaupun kegagalannya juga berimbang.? Apa karena sejarah seorang yang tidak memiliki identitas jelas, di luar ia merupakan muncul dari kalangan rakyat biasa sehingga ia pun mendapatkan dukungan yang kuat dari rakyat.

Secara psikologi lembu peteng itu sendiri adalah sebuah “perjalanan”mencari identitas diri, pengakuan, sehingga hasrat untuk mewujudkan ambisi yang begitu besar tersembur dalam perilaku kepemimpinan mereka?

Soekarno memiliki ambisi besar untuk menjadikan Indonesia sebagai polar peradaban dalam blantika politik internasional. Kita sayup-sayup atau malah masih jelas dengungan GANEFO yang ia inginkan menjadi counter PBB bikinan Amerika. Kita tahu betapa Soekarno kurang menyukai Malaysia karena Negara tersebut membebek kebijakan Inggris. Tetapi sekalipun Soekarno pernah radikal, ia tak mau mengkopi paste ideologi kiri dari blok Timur. Ia ingin komunis, nasionalis, tetapi agamis. (seberapapun akurat ideologi dan seberapa berseberangan niali-nilai yang melandasinya, terbuka kemungkinan memunculkan mengawinkan dengan rekayasa sedemikian rupa. (Belajar rekayasa genetika (ideologi) yok?!)

Soeharto juga bukan pribadi kacangan, ia memipikan kegemilangan tandingan dari pendahulunya. Negara ini secara singkat dan cepat melakukan pembangunan infrastruktur yang besar-besaran. Sehingga kegemilangan fisik dari negara yang masih seumuran remaja yang sibuk pacaran dan bersolek itu menjadi lupa diri, bahwa untuk menjadi yang terdepan diperlukan asupan gizi dan gemblengan mental, moral dan spiritual.

Atau mau dicungkil dengan psikoanalisa Freud, di mana masa lalu(masa anak-anak), trauma masa lalu, sebagai tonggak kepribadian serta navigasi perilaku kita sehari-hari. Orang yang memiliki masa lalu tidak menyenangkan memiliki kecenderungan merehabilitasi identitas secar berlebihan. Di mana tituk balik dicapai sebagai tumpuan untuk lompatan masa depan. Suatu “trauma” dapat membawa pribadi tumbuh dalam “kegilaan” yang bermanfaat (secara komunal).

Atau juga, barangkali karena lembu peteng adalah hasil perilaku seksual yang muncul dalam perilaku social yang berhasil mengkonfrontasir dan menjinakkan rintangan prosesi menjadi pemimpin? Dengan berasumsi bahwa seluruh rintangan menuju kepemimpnan tak ada apa-apanya dibanding menerima kenyataan “ketakjelasan” ataupun keabu-abuan status dan identitas orangtua? Dengan kata lain kepemimpinan atau keberhasilan memimpin merupakan kompensasi dari “pengakuan” diri seorang anak yang “tidak penuh”? Yang parahnya, ketundukkan yang dipimpin pun dirasa tidak setara dengan pengakuan dan keberadaan mereka “yang sah”. Ketidakpuasan ini lalu muncul menjadi obsesi-obsesi yang sedikit “gila”.

Atau kemungkinan ketiga adalah lembu peteng hadir sebagai ‘si liyan’, sosok ‘yang lain’ atau istilah kerennya “the other”. "Yang liyan", yang tampil mendobrak narasi besar yang telah bobrok, yang selalu memiliki logikanya sendiri sehingga mampu menggantikan "logos" yang telah usang dan tak memiliki solusi. Negasi dari status quo yang tak representatif atas kepentingan dan keinginan rakyat, antagonisme kritis yang siap untuk menumbangkan status quo.

Dengan beberapa kemungkian bagaimanapun kepemimpinan itu hadir dan yang jelas tak harus lembu peteng, ada yang sangat menggelithik dalam benak kita mengenai hadirnya pemimpin yang “tak jelas”, ia berjibaku untuk ‘hidup’, sebagaimana umumnya pemimpin, dengan jelas. Ia terus berjuang untuk “diakui” secara cadas sejak sebelum ia menjadi pemimpin, ketika masih “memimpin” dirinya mengarungi “pertumbuhannya”. 
Sebab keberangkatan yang tak stabil akan menghasilkan gemuruh yang tidak datar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar